Senin, 30 Maret 2009

Saya Sekedar Tukang Parkir


Assalamualaikum

setelah lama tidak posting di blog ini, ALhamdullillah kami masih sempat memperbarui blog dakwah ini lagi. semoga bisa selalu istiqomah, Amin.

Mencoba berselancar di dunia maya, Alhamdullilah kami (Fkiq, red) menemukan sebuah rujukan blog milik jurnalis indonesia yang menetap di Amerika serikat, Agusti Anwar. dalam sebuah ulasannya tentang isi khotbah di masjid amerika sono, ia menulis sebuah pesan bila kehidupan kita ini bak seorang tukang parkir, menjaga sebuah titipan.

berikut adalah postingannya yang kami cuplik di www.agustianwar.multiply.com

Perbandingan kehidupan kita dengan Profesi tukang parkir ternyata dapat demikian tepat.

Hari Jumat ini, khatib di masjid KJRI Los Angeles, Sukardi Ralin, naik mimbar dengan sebuah pesan singkat tentang perlunya mensyukuri nikmat. Perbandingan yang diambil adalah tentang profesi sebagai tukang parkir.

Barangkali pesan perlunya bersyukur sudah kita dengar sering sekali. [Lazim sekali disepadankan dengan 'bersabar']. Kendati demikian, tidak serta merta kita telah berhasil melaksanakannya dengan baik. Bersyukur saja, walau kedengaran sederhana, bukan hal yang mudah untuk dilaksanakan. Apalagi kalau harus terus-menerus.

Bersyukur atas nikmat yang diberikan kepada kita dikatakan sangat perlu, karena semua nikmat itu pun tidak lebih dari sekedar titipan. Semua yang dititipkan dapat saja diambil kembali, kapan saja, oleh pemiliknya. Kalau diambil, kita tidak dapat berbuat apa-apa.

Tukang parkir, kata khatib, dititipkan berbagai jenis mobil; dengan berbagai model; tentu harga yang bermacam-macam. Sebagai tukang parkir, mobil-mobil itu pun dijaga, sebagai sebuah titipan. Lalu, nanti pada waktunya, mobil-mobil itu akan diambil kembali oleh pemiliknya, dibawa pergi. Sebagai tukang parkir, kita tidak bisa menolak atau lainnya, kecuali merelakan.

Jaguar atau Mercedez yang diparkir, akan dibawa pergi pemiliknya. Semua jenis mobil itu, akan dibawa yang empunya. Walaupun halaman parkir kita tadi penuh dengan segala jenis mobil, pada waktunya semua akan pergi lagi, menjadi kosong.

Yang ingin disampaikan sang khatib dengan perandaiannya itu adalah bahwa dalam perjalan kehidupan ini, apabila kita mampu menempatkan diri kita sebagai sekedar tukang parkir saja maka kita akan mampu memaklumi bahwa segala sesuatu yang ada tidak lebih dari sekedar barang titipan. Pada akhirnya sang pemilik akan mengambilnya dan kita tidak dapat berbuat apa pun untuk menolaknya.

Dalam hidup, kita dapat diberi nikmat dalam segala bentuknya. Mulai dari nikmat usia, kesehatan, harta benda, jabatan, apa saja; bahkan kita dititipkan anak-anak kita yang cantik dan baik; segala sesuatu yang sekarang kita punya. Namun semua itu sebetulnya hanya kita miliki sebagai sebuah titipan biasa, yang apabila diambil dari kita tidak banyak yang dapat kita lakukan kecuali menerima.

Usia pun dapat disentakkan Tuhan kapan saja; apalagi sekedar pekerjaan dan jabatan. Tentu saja yang akan membuat kita semakin rugi ketika dalam memegang amanah semua titipan itu kita gagal pula mensyukuri dan memanfaatkannya untuk membuka pintu-pintu kebaikan.

Khatib itu benar; dengan bersyukurlah kita bisa memaklumi segala kesementaraan dalam kehidupan ini. Pada akhirnya umur toh akan dicabut; pekerjaan dan jabatan selesai dan pensiun; harta pun akan habis; bahkan anak-anak permata hati kita akan menjadi dewasa dan kita lepaskan. Semua tidak lebih sekedar titipan.

Ada sudut mata yang terasa basah mendengarkan semua pesan itu. Sebab, saya merasa bahwa saya tidak beda; hanya sekedar seorang tukang parkir saja. Pada waktunya, semua yang dititipkan dapat habis dan berakhir. Sebab semua titipan sifatnya sementara.

0 komentar: