Sabtu, 27 Desember 2008

Burung Beo & Pak Kyai

Syahdan, disebutkan hiduplah seorang kyai kharismatik di pulau Jawa. Ia memiliki pesantren yang demikian besarnya dan tak diragukan, keharuman hegemoni pesantren yang ia asuh, tersebar luas ke seantero nusantara. Jumlah santrinya ribuan. Mereka berdatangan dari pelosok desa dan kota, demi mencicipi nikmatnya tholabul 'ilmi di bawah bimbingan sang kyai.

Kyai ini memiliki memiliki hobi yang unik, yakni memelihara burung Beo. Ia sangat sayang pada burung Beo peliharaannya. Saking sayangnya, pak Kyai tak ingin Beonya dipelihara oleh siapan pun, termasuk santri khodim dalem. Pak kyai ingin mengurusinya sendiri. Mulai dari memberikan makan, membersihkan kandang, dan memandikan, semuanya pak Kyai sendiri yang melakukan. Ia mengajarkan burung Beo kesayangannya untuk "mengucapkan" kalimah yang indah, kalimah tahlil, "Laa ilaaha illallaah". Begitulah, apa yang disiulkan si burung Beo tiap harinya bukanlah suara yang lain kecuali apa yang diajarkan oleh tuannya, yaitu lafadz : Laa ilaaha illallaah.

Hari-hari berjalan dengan damainya. Pak Kyai masih menikmati hobinya, memelihara burung Beo, di samping ia juga mengajarkan hikmah ilmu ke segenap santrinya. Hingga, hari naas itu pun datang.

Saat itu, pak Kyai membiarkan burung Beonya beterbangan. Pikir beliau, karena Beonya sudah lama ia pelihara, tentunya Beo itu sudah "kuthuk", tak akan terbang jauh-jauh dari sangkar.

Tapi, tanpa dinyana, ada seekor kucing yang mengincar burung Beo yang asyik terbang itu. Dan ketika burung Beo terbang rendah di atas tanah, si kucing pun berhasil menggapainya. Langsung saja, setelah berhasil mendapatkan buruan, si kucing tak tinggal diam. Ia berlari mengamankan santapan. Burung Beo yang berada di jepitan gigi runcingnya hanya mencicit kesakitan, "ciiit, ciit, ciit". Kasihan.

Pak Kyai yang tahu Beonya diembat kucing bukannya tak tinggal diam. Namun apalah daya, fisiknya yang sudah sepuh, tak kuat untuk mengimbangi lari si kucing.

Sejak kematian Beonya tersebut, Pak Kyai kelihatan lebih banyak bermuram durja. Ia mengurung diri di dalam kamar. Aktifitas mengaji yang biasa ia bina, dibadalkannya kepada santri senior kepercayaan. Pak Kyai hanya keluar dari kamar bila waktunya sholat berjama'ah. Pada saat itu, para santri jelas melihat wajah kyainya yang muram, tanpa senyuman.

Tak ingin menyaksikan sang kyai terus-terusan bersedih, para santri senior yang duduk dikepengurusan pondok akhirnya syawir. Mereka berinisiatif membelikan pak Kyai burung Beo yang baru. Mereka berharap, dengan Beo yang baru pak Kyai tak lagi murung dan bersedia kembali mengajar mengaji.

Tapi, apa kata pak Kyai setelah tahu para santrinya membelikan ia burung Beo? "Wahai para santri, saya bersedih bukan karena kematian burung Beo atau karena merasa kehilangan. Tahukah kalian, aku sedih karena membayangkan nasib saya saat menemui ajal nantinya."

Para santri kebingungan, apa hubungannya burung Beo dengan ajal? Pak Kyai paham apa yang dipikirkan santrinya, ia pun melanjutkan,"Lihatlah, burung Beo yang saya ajarkan hanya mengucapkan "Laa ilaaha illallah" saja, saat ia menemui ajalnya digigitan kucing, ia tak tak mengucapkan "Laa ilaaha illallah". Hanya berceruwit. Ke mana lafadz tahlil yang ia kicaukan tiap hari itu?"

Beo saja, lanjut sang Kyai, yang tak pernah maksiat, tak pernah mencaci maki, tak pernah menghina, dan tak pernah berkata kotor, saat ajal tiba sekalipun ia lupa akan tahlil yang biasa ia siulkan. "Lalu bagaimana dengan saya nanti, dengan mulut dan hati yang penuh kemaksiatan? Akankah saya selamat mengucapkan kalimah thoyyibah itu saat menjelang sekarat pati? Itulah yang saya khawatirkan wahai para santriku," tutur sang Kyai dengan air mata berlinang.

dicuplik dari
www.masjid.its.ac.id

0 komentar: